Oleh: Mans Nahak – Jurnalis di Malaka

Meski bergelar doktor ilmu hukum, Bupati Malaka tidak merasa diri pintar. Berkunjung dari desa ke desa dan terus bekerja, wujud Dr. Simon Nahak, SH, MH, sosok yang bukan merasa pintar, tetapi pintar merasa.

Kami mengenal dan akrab dengan beliau (red, Bupati Simon) sejak tahun 2013. Saat itu, Bupati Simon sementara mempersiapkan studi doktoralnya. Pertemuan kami tidak berlangsung lama. Kebetulan, kami bertemu dalam hajatan keluarga, dan “mencuri” kesempatan untuk saling berbagi tentang pembangunan dan politik Malaka.

Sejujurnya, Simon, putera daerah yang sangat diperhitungkan. Kami ingin mengatakan sesuatu tentang beliau, karena kisah 2013 itu sudah menjadi sebuah kenangan. Kenangan yang sangat menyatu dan menyata dalam ruang dan waktu. Kenyataan, Simon Nahak, Bupati Malaka saat ini, karena dikenal dan mengenal. Mengapa?

Dia fokus bekerja. Bekerja keras dalam membangun dan berpihak untuk masyarakat menjadi spirit kepemimpinannya. Dari cara bicara, berpakaian dan tindakannnya, Bupati Simon tidak peduli dengan omongan. Akan tetapi, fokus bekerja. Dia, pemimpin yang cepat merespon informasi dan aspirasi publik.

Jangan sebatas diskusi, tetapi harus eksekusi, itulah kalimat yang senantiasa diucapkannya. Busana yang dikenakannya, punya makna. Tais (red, sarung) Bere Neke atau Neo Lalek sering dikenakan. Sarung dengan warna hitam dominan pertanda pekerja keras. Hitam, warna kotor karena lumpur dan bermandi peluh. Mengenakan Tais Neo Lalek saat berkantor, Bupati Simon ingin memberi kesan kantor sebagai “kebunnya” karena dia, anak petani.

Dia tidak takut tantangan. Waktu untuk memimpin Malaka begitu singkat. Ditambah lagi dengan pandemi Covid-19 dan Bencana Seroja, dia tidak mundur dari kerja-kerja kepemimpinan dan pembangunan. Program SAKTI diwujudkan satu per satu. Tidak takut, Bupati Simon tetap membangun di masa pandemi Covid-19 dan Bencana Seroja dengan anggaran daerah yang terbatas dalam kurun waktu yang singkat.

Dia percaya diri. Tidak ada yang bisa mempengaruhinya. Dia mementingkan komitmen dan prestasi kerja. Tidak goyah dan punya prinsip. Yang benar dan baik dijunjung. Yang salah, masuk dari telinga kiri, keluar lewat telinga kanan. Baginya, percaya diri bukan kesombongan.

Kemampuan mendengar dan merespon, menjadikannya sosok yang menerima siapa saja dan kapan saja. Hal kecil saja, pesan singkat whatsApp yang dikirim ke ponselnya dibalasnya satu per satu. Seyogyanya, dalam dirinya punya Empat Percaya; percaya Tuhan, percaya leluhur, percaya alam dan percaya diri.

Dia, orang sederhana dan mudah senyum. Kapan dia marah, kita tidak tahu. Suasana bisa membuatnya marah, tetapi kata-kata dan tindakannya selalu memberi “pelajaran”. Maklumlah dia seorang guru, tepatnya, dosen. Tertawa lepas dengan siapa saja dan kapan saja, menjadi kesan khas setiap orang yang pernah bersamanya.

Dia mencintai dan memaafkan. Wujud pintar merasa, Bupati Simon menaruh perhatian dan kerja keras untuk membangun Malaka. Mencintai dan memaafkan menjadikannya sosok yang senantiasa bekerja untuk masyarakat. Dia tidak merayakan ulang tahun dengan sukacita dan pesta-pestaan. Cukup bersyukur dan bekerja untuk sesama. Itulah sebabnya, setiap 13 Juni, diisi dengan kerja, kerja untuk masyarakat Malaka. Pengalaman 30-an tahun di Bali, adalah masa lalu yang sudah dijalani dan “dimaafkan”. Terpanggil dan kembali ke kampung halaman. Bupati Simon bekerja keras, karena pintar merasa dan mencintai kampung halaman. Dia ingin menabur asa di tanah asal.